<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6054923247078731910\x26blogName\x3dMAPALA+HUMENDALA\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://humendala.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3din\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://humendala.blogspot.com/\x26vt\x3d-3048275863699765493', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
GALLERY
MAPALA HUMENDALA on Facebook

2050, PERANG DUNIA MELAWAN KENAIKAN MUKA AIR LAUT

Kamis, 30 April 2009

Pakar Lingkungan Hidup, Emil Salim, menegaskan, pemanasan global akan membuat dunia berperang melawan kenaikan muka air laut pada 2050.

"Akan banyak wilayah dunia yang tenggelam karena kenaikan air laut semakin tinggi setiap tahunnya," kata Emil Salim, pada Seminar Konferensi Kelautan Dunia di Universitas Indonesia, Jakarta, Kamis (30/4).

Kenaikan air laut rata-rata setiap tahunnya, menurut dia, telah mencapai 2,53 mili meter (mm). Padahal di tahun 2006 kenaikan air laut baru mencapai 1,7 mm.

Bagi negara-negara kepulauan yang memiliki daratan yang tidak tinggi, seperti Maladewa yang hanya 1,3 meter, maka kondisi ini sangat mengkhawatirkan. "Negara kepulauan yang terancam hilang ini bahkan sudah mulai mencari dan membeli daratan dari negara-negara lain," ujar dia.

Karena itu jelas, ujar mantan Menteri Lingkungan Hidup ini, peta batas negara di dunia akan berubah pada tahun 2050 nanti. Ini yang membuat dunia sibuk berperang melawan laut menyelamatkan penduduknya.

"Karena itu tidak bisa jika dunia tidak bergabung untuk mengatasi dampak dari pemanasan global ini terhadap laut," ujar dia.

Sumber : Media Indonesia

Author: HERMANN » Comments:

Cegah Perubahan Iklim dengan Green Stimulus

Selasa, 28 April 2009

Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya sebaiknya menerapkan program green stimulus (stimulus hijau) sebagai bagian dari program stimulus ekonomi yang ada.

Tujuannya untuk memperkuat ekonomi dan pada saat yang bersamaan menciptakan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, melindungi masyarakat yang rentan, dan mengurangi emisi.

Ada serangkaian upaya yang efektif dalam hal biaya untuk membantu negara-negara Asia Tenggara dari dampak terburuk perubahan iklim. "Sebagai contoh, memperbaiki pengelolaan air, memperkuat sistem irigasi, memperkenalkan varietas tanaman baru, melindungi hutan, dan membangun tembok-tembok perlindungan laut," kata pengamat lingkungan hidup Emil Salim di Jakarta, Selasa (28/4).

"Green stimulus itu untuk pemberdayaan masyarakat seperti unemployement. Dengan demikian, biaya memang tinggi tapi manfaat untuk ekonomi akan luas. Sebab, tidak hanya akan mengentaskan kemiskinan dan membuka lapangan kerja, tetapi juga mengantisipasi perubahan iklim," ujarnya.

Lebih lanjut, Emil juga menjelaskan, perlunya penyebarluasan informasi kepada masyarakat luas terutama petani mengenai perubahan iklim yang menyebabkan perubahan pola masa tanam.
Hal ini penting untuk dilakukan karena masyarakat di pedesaan belum banyak yang menyadari tentang perubahan iklim ini yang akan mengancam ketahanan pangan.

"Kalau para petani mengetahui masa tanam akan bergeser karena perubahan iklim. Mereka akan memperoleh hasil pertanian yang lebih baik," tuturnya.

Sumber: Media Indonesia

Author: HERMANN » Comments:

Strategi PBB dalam Penyelamatan Hutan Dinilai Gagal

Ketua World Growth Alan Oaxley mengingatkan negara-negara makmur akan komitmen dukungan mereka kepada strategi PBB dalam penyelamatan hutan di negara berkembang.

Ia menegaskan, alih-alih membantu negara miskin untuk mengembangkan kehutanan berkelanjutan, dana bantuan PBB malah mengarah kepada LSM yang memerlukan dana besar yang antiinisiatif di bidang perhutanan, di antaranya Greenpeace dan WWF.

Siaran pers yang diterima Antara di Denpasar, Bali, Sabtu (25/4), Oaxley menyatakan, PBB selalu memaksakan bahwa inisiatif di bidang perhutanan itu melindungi keragaman hayati sekaligus merangsang pertumbuhan ekonomi.

Tetapi, di bawah pengaruh kritisisme yang laten dari LSM yang anti komersialisasi hutan, seperti Greenpeace dan WWF, dana donor itu telah menyediakan pembiayaan kepada kampanye anti perhutanan yang merusak kemakmuran komunitas miskin dengan cara membatasi pendayagunaan hutan.

Sangat jelas bahwa klaim pembalakan hutan oleh Greenpeace secara reguler mengingkari fakta-fakta itu.

Data World Growth menunjukkan, target global untuk mempertahankan 11% hutan dunia untuk konservasi telah jauh terlampaui, di antaranya 80% luas hutan hujan Amazon masih utuh dan laju deforestasi secara global di bawah 0,2% per tahun dan angka itu terus menurun.

LSM dari Amerika Serikat ini mencatat, laju deforestasi itu bukan dipengaruhi secara berarti oleh tekanan pembalakan liar, tetapi oleh laju pertumbuhan penduduk dan keperluan untuk memproduksi lahan pangan yang lebih menghasilkan.

Dalam laporan terbarunya, jelas dikatakan tentang upaya yang bisa dilakukan untuk mengimplementasikan perhutanan berkelanjutan.

"Jika negara miskin yang kaya akan hutan alam ingin menjadi sukses dalam melakukan perhutanan berkelanjutan maka mereka akan memerlukan bantuan pembiayaan. Karena alasan itulah maka PBB secara khusus harus menegaskan kewajiban guna menyalurkan dana kepada negara miskin," katanya.

Sumber: Media Indonesia

Author: HERMANN » Comments:

MEREKAYASA ATMOSFER HINGGA POLITIK GLOBAL

Rabu, 22 April 2009


Tak seorang pun di antara kita mau mengurangi kenikmatan hidup yang telanjur kita reguk. Hidup tanpa AC atau harus meningkatkan setelan suhu dari 23º C menjadi 25º C. ”Untuk apa? Yang lain kan tetap memasang 23º C. Enggak ada gunanya….” Alasan demi alasan selalu ada.

Kebanyakan kita pun sulit mengubah gaya hidup. Biasa memakai baju impor, tak peduli jejak karbonnya tinggi karena harus diimpor dari luar negeri. Gak pede kalau berbaju buatan dalam negeri. Dan sebagainya, dan sebagainya. Mengurangi kenyamanan sejalan dengan mengurangi aktivitas produksi. Keduanya bertujuan mengurangi emisi karbon—salah satu gas rumah kaca penyebab pemanasan global.

Dalam satu abad terakhir suhu bumi telah meningkat rata-rata 1º C. Tahun 1997 di Kyoto, Jepang, diadopsi Protokol Kyoto dalam lingkup Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) yang memuat kewajiban 37 negara maju untuk menekan emisi hingga 5 persen di bawah level emisi tahun 1990.

Pertemuan demi pertemuan mengenai perubahan iklim di bawah payung UNFCCC selalu menjadi ajang adu argumen antara negara maju dan negara berkembang. Sementara berbagai program adaptasi dan mitigasi terus dijalankan dengan tertatih. Upaya mitigasi kebanyakan dilakukan secara individual dan korporasi.

Awal tahun ini perusahaan konsultasi McKinsey di Eropa berdasarkan hasil kajian mereka menyatakan, ongkos bagi upaya dunia untuk menurunkan 2º C suhu bumi akan membutuhkan sekitar 350 miliar euro per tahun—setara dengan Rp 4.900 triliun—pada tahun 2030.

”Dunia akan mampu mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 70 persen pada tahun 2030, tapi harus dengan aksi lintas sektor secara global dan segera,” demikian isi hasil kajian McKinsey (Dow Jones, 26/1). Biaya menjadi kendala.

Sementara itu, keengganan AS di bawah kepemimpinan George W Bush telah memicu kegalauan tersendiri secara global karena AS dinilai mampu menjadi ”pemimpin” dalam perang melawan pemanasan global. Barulah ketika Barack Obama mengambil alih posisi Bush, AS berubah haluan. Pekan lalu, Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) sedang merancang peraturan di bawah Clean Air Act, pemerintahan Obama meminta Kongres AS menanggapi isu perubahan iklim melalui ”pembatasan dan perdagangan” karbon guna mengurangi emisi gas yang berkontribusi pada pemanasan global. Semua peraturan tersebut akan langsung menjadi isu ekonomi dan sosial.

Langkah Obama memberikan sepercik harapan pada kemungkinan perang kita melawan pemanasan global. Akankah kembali AS memimpin dunia seperti dulu dilakukannya pada Perang Dunia II? Akankah berhasil? Jawabannya masih kita tunggu entah sampai kapan.

Perekayasa bumi

Ketika orang tak mau berpayah-payah, dan ketika orang tak mau kehilangan banyak uang, datanglah para ilmuwan perekayasa bumi (geo-engineer) yang membawa pemikiran ekstrem: ”mengubah iklim dengan peralatan artifisial” (Newsweek, 27/4).

Pemikiran tersebut muncul berawal dari pengamatan saat terjadi letusan Gunung Pinatubo pada 15 Juni 1991 di Filipina. Letusan tersebut yang menewaskan ratusan orang telah menyemburkan abu ke atmosfer. Abu tersebut mengandung banyak gas sulfurdioksida hingga mencapai lapisan stratosfer—lapisan di atas troposfer. Sulfurdioksida tersebut menyelimuti bumi dan merefleksikan energi panas matahari ke ruang angkasa.

Sejumlah ahli meteorologi mengamati bahwa beberapa tahun kemudian suhu bumi secara global turun rata-rata 0,5º C. Sementara suhu bumi telah naik 1º C sejak revolusi industri sekitar seabad lalu. Meski demikian, efek letusan Gunung Pinatubo hanyalah sementara. Beberapa tahun kemudian suhu bumi global kembali merangkak naik.

Berbekal pengamatan tersebut, sejumlah ilmuwan, geo-engineer, mulai memikirkan rekayasa lain yang kemungkinan bisa diterapkan, bisa dijadikan ”selimut” bumi guna merefleksikan energi panas matahari kembali ke luar angkasa.

Tahun 1990-an, Edward Teller, penemu bom hidrogen yang kontroversial, menggagas dan mengajukan usulan untuk melontarkan partikel-partikel metal yang dapat mengambang di atmosfer yang berfungsi sebagai pemantul cahaya matahari.

Geo-engineer lain melakukan pendekatan berbeda. Mereka menawarkan rekayasa carbon capture and storage (CCS), yaitu menangkap karbon dan menyimpannya di sebuah tempat di dalam tanah. Pendekatan lain adalah mengubah gaya hidup, seperti ditawarkan melalui pilihan penggunaan bahan bakar nonfosil, seperti meng- gunakan energi matahari, gelombang, atau angin.

Secara keseluruhan, yang dilakukan para ilmuwan tersebut merupakan manifestasi dari dua pendekatan, yaitu mendinginkan bumi atau membersihkan udara.

Pendekatan pembersihan melibatkan risiko yang lebih kecil karena tidak melibatkan peralatan serba besar atau melibatkan gas-gas yang lain. Sementara upaya mendinginkan bumi, misalnya dengan CCS, amat berisiko. Jika simpanan karbon bocor, dunia akan menderita lebih parah. Setiap tahun diperkirakan 30 triliun metrik ton karbon dilepas oleh industri dan aktivitas transportasi. Jika diubah menjadi zat cair akan mampu mengisi Danau Geneva.

Saat ini The British Royal Society—tempat berkumpul ilmuwan yang amat bergengsi—telah memulai studi untuk beberapa pilihan teknologi kebumian. Sedangkan The US National Academies of Science telah menggelar konferensi dan mereka akan berkumpul lagi Juni mendatang untuk bicara lebih mendetail. Namun, belum ada keputusan politik tentang itu. Upaya melalui rekayasa atau pendekatan teknologi ini juga didukung oleh peraih penghargaan Nobel, Paul Crutzen dan Thomas Schelling.

Di luar itu semua, ada pertanyaan mendasar yang terus bergelung. Jika belum mampu memprediksi cuaca secara tepat, bagaimana kita bisa percaya bahwa para geo-engineer mampu merekayasa iklim? Kita harus kembali ke baris pertama tulisan ini: kita secara individu sebaiknya memberanikan diri mengubah gaya hidup dan mau ”hidup susah”.... Beranikah?

Sumber: Kompas

Author: HERMANN » Comments:

Masa depan bumi saat sang Surya berevolusi

Selasa, 21 April 2009


Perubahan iklim dan pemanasan global yang terjadi akhir-akhir ini menjadi salah satu efek yang sangat signifikan dalam perubahan kondisi Bumi selama beberapa dekade dan abad ke depan. Namun, bagaimana dengan nasib Bumi jika terjadi pemanasan bertahap saat Matahari menuju masa akhir hidupnya sebagai bintang katai putih? Akankah Bumi bertahan, ataukah masa tersebut akan menjadi masa akhir kehidupan Bumi?

Milyaran tahun lagi, Matahari akan mengembang menjadi bintang raksasa merah. Saat itu, ia akan membesar dan menelan orbit Bumi. Akankah Bumi ditelan oleh Matahari seperti halnya Venus dan Merkurius? Pertanyaan ini telah menjadi diskusi panjang di kalangan astronom. Akankah kehidupan di Bumi tetap ada saat matahari menjadi Katai Putih?

Berdasarkan perhitungan yang dilakukan K.-P. Schr¨oder dan Robert Connon Smith, ketika Matahari menjadi bintang raksasa merah, ekuatornya bahkan sudah melebihi jarak Mars. Dengan demikian, seluruh planet dalam di Tata Surya akan ditelan olehnya. Akan tiba saatnya ketika peningkatan fluks Matahari juga meningkatkan temperatur rata-rata di Bumi sampai pada level yang tidak memungkinkan mekanisme biologi dan mekanisme lainnya tahan terhadap kondisi tersebut.

Saat Matahari memasuki tahap akhir evolusi kehidupannya, ia akan mengalami kehilangan massa yang besar melalui angin bintang. Dan saat Matahari bertumbuh (membesar dalam ukuran), ia akan kehilangan massa sehingga planet-planet yang mengitarinya bergerak spiral keluar. Lagi-lagi pertanyaannya bagaimana dengan Bumi? Akankah Matahari yang sedang mengembang itu mengambil alih planet-planet yang bergerak spiral, atau akankah Bumi dan bahkan Venus bisa lolos dari cengkeramannya?

Perhitungan yang dilakukan oleh K.-P Schroder dan Robert Cannon Smith menunjukan, saat Matahari menjadi bintang raksasa merah di usianya yang ke 7,59 milyar tahun, ia akan mulai mengalami kehilangan massa. Matahari pada saat itu akan mengembang dan memiliki radius 256 kali radiusnya saat ini dan massanya akan tereduksi sampai 67% dari massanya sekarang. Saat mengembang, Matahari akan menyapu Tata Surya bagian dalam dengan sangat cepat, hanya dalam 5 juta tahun. Setelah itu ia akan langsung masuk pada tahap pembakaran helium yang juga akan berlangsung dengan sangat cepat, hanya sekitar 130 juta tahun. Matahari akan terus membesar melampaui orbit Merkurius dan kemudian Venus. Nah, pada saat Matahari akan mendekati Bumi, ia akan kehilangan massa 4.9 x 1020 ton setiap tahunnya (setara dengan 8% massa Bumi).

Perjalanan evolusi Matahari sejak lahir sampai akhir masa hidupnya sebagai bintang katai putih. Saat ini Matahari berada di deret Utama (Main Sequence)
Setelah mencapai tahap akhir sebagai raksasa merah, Matahari akan menghamburkan selubungnya dan inti Matahari akan menyusut menjadi objek seukuran Bumi yang mengandung setengah massa yang pernah dimiliki Matahari. Saat itu, Matahari sudah menjadi bintang katai putih. Bintang kompak ini pada awalnya sangat panas dengan temperatur lebih dari 100 ribu derajat namun tanpa energi nuklir, dan ia akan mendingin dengan berlalunya waktu seiring dengan sisa planet dan asteroid yang masih mengelilinginya.

Zona Habitasi yang Baru
Saat ini Bumi berada di dalam zona habitasi / layak huni dalam Tata Surya. Zona layak huni atau habitasi merupakan area di dekat bintang di mana planet yang berada di situ memiliki air berbentuk cair di permukaannya dengan temperatur rata-rata yang mendukung adanya kehidupan. Dalam perhitungan yang dilakukan Schroder dan Smith, temperatur planet tersebut bisa menjadi sangat ekstrim dan tidak nyaman untuk kehidupan, namun syarat utama zona habitasinya adalah keberadaan air yang cair.Terbitnya bintang raksasa merah. Impresi artis. Sumber: Jeff Bryant’s Space Art.

Tak dapat dipungkiri, saat Matahari jadi Raksasa Merah, zona habitasi akan lenyap dengan cepat. Saat Matahari melampaui orbit Bumi dalam beberapa juta tahun, ia akan menguapkan lautan di Bumi dan radiasi Matahari akan memusnahkan hidrogen dari air. Saat itu Bumi tidak lagi memiliki lautan. Tetapi, suatu saat nanti, ia akan mencair kembali. Nah saat Bumi tidak lagi berada dalam area habitasi, lantas bagaimana dengan kehidupan di dalamnya? Akankah mereka bertahan atau mungkin beradaptasi dengan kondisi yang baru tersebut? Atau itulah akhir dari perjalanan kehidupan di planet Bumi?

Yang menarik, meskipun Bumi tak lagi berada dalam zona habitasi, planet-planet lain di luar Bumi akan masuk dalam zona habitasi baru milik Matahari dan mereka akan berubah menjadi planet layak huni. Zona habitasi yang baru dari Matahari akan berada pada kisaran 49,4 SA - 71,4 SA. Ini berarti areanya akan meliputi juga area Sabuk Kuipert, dan dunia es yang ada disana saat ini akan meleleh. Dengan demikian objek-objek disekitar Pluto yang tadinya mengandung es sekarang justru memiliki air dalam bentuk cairan yang dibutuhkan untuk mendukung kehidupan. Bahkan bisa jadi Eris akan menumbuhkan kehidupan baru dan menjadi rumah yang baru bagi kehidupan.

Bagaimana dengan Bumi?
Apakah ini akhir perjalanan planet Bumi? Ataukah Bumi akan selamat? Berdasarkan perhitungan Schroder dan Smith Bumi tidak akan bisa menyelamatkan diri. Bahkan meskipun Bumi memperluas orbitnya 50% dari orbit yang sekarang ia tetap tidak memiliki pluang untuk selamat. Matahari yang sedang mengembang akan menelan Bumi sebelum ia mencapai batas akhir masa sebagai raksasa merah. Setelah menelan Bumi, Matahari akan mengembang 0,25 SA lagi dan masih memiliki waktu 500 ribu tahun untuk terus bertumbuh.

Saat Bumi ditelan, ia akan masuk ke dalam atmosfer Matahari. Pada saat itu Bumi akan mengalami tabrakan dengan partikel-partikel gas. Orbitnya akan menyusut dan ia akan bergerak spiral kedalam. Itulah akhir dari kisah perjalanan Bumi.

Sedikit berandai-andai, bagaimana menyelamatkan Bumi? Jika Bumi berada pada jarak 1.15 SA (saat ini 1 SA) maka ia akan dapat selamat dari fasa pengembangan Matahari tersebut. Nah bagaimana bisa membawa Bumi ke posisi itu?? Meskipun terlihat seperti kisah fiksi ilmiah, namun Schroder dan Smith menyarankan agar teknologi masa depan dapat mencari cara untuk menambah kecepatan Bumi agar bisa bergerak spiral keluar dari Matahari menuju titik selamat tersebut.

Yang menarik untuk dikaji adalah, umat manusia seringkali gemar berbicara tentang masa depan Bumi milyaran tahun ke depan, padahal di depan mata, kerusakan itu sudah mulai terjadi. Bumi saat ini sudah mengalami kerusakan awal akibat ulah manusia, dan hal ini akan terus terjadi. Bisa jadi akhir perjalanan Bumi bukan disebabkan oleh evolusi matahari, tapi oleh ulah manusia itu sendiri. Tapi bisa jadi juga manusia akan menemukan caranya sendiri untuk lolos dari situasi terburuk yang akan dihadapi.

Sumber : Arxiv : Distant future of the Sun and Earth revisited

Author: Mikal » Comments: